Sabtu, 29 Oktober 2011

SEJARAH SINGKAT PANDU HIZBUL WATHAN



KH. Ahmad Dahlan
(Pendiri Muhammadiyah dan Hizbul Wathan)

SEJARAH SINGKAT PANDU HIZBUL WATHAN
DETIK DETIK LAHIRNYA HW
Pada suatu hari (Ahad) KH. Ahmad Dahlan memanggil beberapa guru Muhammadiyah : Bp. Somodirdjo (Mantri Guru Standart School Suronatan), Bp. Syarbini dari sekolah Muhammadiyah Bausasran dan seorang lagi dari Sekolah Muhammadiyah Kota Gede.
KH. Ahmad Dahlan berkata kira-kira demikian :
“Saya tadi pagi di Solo sepulang dari Tabligh sampai di muka Pura Mangkunegaran di alun-alun Surakarta melihat anak-anak baris-berbaris, sebagian bermain-main, semuanya berpakaian seragam, baik sekali! Apa itu??”.
Bp. Somodirjo menjelaskan bahwa itu adalah Pandu Mangkunegaran yang namanya JPO (Javaanche Padvinderij Organisatie) ialah suatu gerakan pendidikan anak-anak diluar sekolah dan rumah.
Mendengar keterangan tersebut KH. Ahmad Dahlan menyambut :
“Alangkah baiknya kalau anak-anak keluarga Muhammadiyah juga dididik semacam itu untuk leladi menghamba kepada Allah, selanjutnya beliau mengharap kepada para guru untuk mencontoh gerakan pendidikan itu”.
Bp. Somodirdjo dan Bp. Syarbini mempelopori mengadakan persiapan – persiapan akan mengadakan gerakan pendidikan untuk anak-anak diluar sekolah dan rumah. Mula-mula yang digerakkan untuk latihan adalah para guru-guru sendiri dulu. Pendaftaran dimulai dan latihan pun diadakan di SD Muhammadiyah Suronatan tiap Ahad Sore. Latihan meliputi baris-berbaris, bermain tambur dan olahraga, kemudian ditambah dengan PPPK dan kerohanian. Bp. Syarbini adalah seorang pemuda yang pernah mendapat pendidikan kemiliteran melatih baris-berbaris. Banyak pemuda yang tertarik sehingga pengikut latihan semakin banyak. Akhirnya diadakan penggolongan yakni golongan dewasa dan anak-anak.

PADVINDER MUHAMMADIYAH
Tahun 1918 adalah saat Gerakan Hizbul wathan melangkahkan langkahnya yang pertama dengan nama Padvinder Muhammadiyah. Nama tersebut semakin populer. Untuk pengawasan Gerakan padvinder Muhammadiyah ini diserahkan kepada Muhammadiyah bagian sekolahan. Oleh Muhammadiyah bagian sekolahan tersebut dibentuklah pengurus sebagai berikut :
Ketua : H. Muchtar
Wakil Ketua : H. Hadjid
Sekretaris : Somodirdjo
Keuangan : Abdul Hamid
Organisasi : Siradj Dahlan
Komando : Sjarbini dan Damiri
Untuk memajukan gerakan tersebut, direncanakan akan mengadakan studi ke JPO Solo. Agar kunjungan ke JPO Solo tersebut meriah, bagian sekolahan mengusahakan uniform, kemeja drill kuning dan kemeja drill biru, sedang untuk setangan leher untuk mudahnya menggunakan kacu yang banyak dijual ialah kacu merah berbintik hitam.
Kedatangan Padvinder Muhammadiyah menggemparkan kota Solo. Di lapangan mangkunegaran diadakan demonstrasi-demonstrasi dan macam-macam permainan sebagai perkenalan. Padvinder Muhammadiyah mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam kunjungan ke JPO Solo.

NAMA HIZBUL WATHAN
Sepulang dari kunjungan ke JPO Solo tersebut dibicarakan nama dari Padvinder Muhammadiyah. Di rumah Bp. H. Hilal Kauman, RH. Hadjid mengajukan nama yang dianggap cocok pada waktu itu yaitu HIZBUL WATHAN, yang berarti Pembela Tanah Air. Hal ini mengingat adanya pergolakan-pergolakan di luar negeri maupun di dalam negeri yaitu masa berjuang melawan penjajah Belanda.
Nama HIZBUL WATHAN sendiri berasal dari nama kesatuan tentara Mesir yang sedang berperang membela tanah airnya. Dengan kata sepakat nama HIZBUL WATHAN dipakai mengganti nama “Padvinder Muhammadiyah“ tahun 1920.
Kejadian itu bertepatan dengan peristiwa akan turunnya dari tahta Paduka Sri Sultan VII di Yogyakarta. Untuk turut menghormat dan akan ikut mengiringkan pindahnya Sri Sultan VII dari keraton ke Ambarukmo, diadakan persiapan-persiapan dam latihan. Pada tanggal 30 Januari 1921 barisan HW keluar turut mengiringkan Sri Sultan VII pindah dari keraton ke Ambarukmo. Keluarga HW mendapat penuh perhatian dari khalayak ramai. Dari saat itulah HW terkenal pada umum. Hal ini ditambah lagi sesudah beberapa hari kemudian HW berbaris dalam perayaan penobatan Sri Sultan VIII. Perayaan diadakan di alun-alun utara Yogyakarta. HW turut pula dengan mengadakan demonstrasi dimuka panggung dimana Sri Sultan VIII dengan para tamu menyaksikannya.
HW telah menjadi buah bibir masyarakat. Demikianlah uniform HW mulai dikenal masyarakat. Maka tidak heranlah, kalau kadang-kadang kalau ada anak Belanda atau Cina berpakaian Padvinder (NIPV) dikatakan : “Lho, itu ada HW Landa, Lho itu ada HW Cina”, yang sebetulnya yang dimaksud adalah Padvinder NIPV, bahkan setiap ada anak berpakaian pandu selalu dikatakan Pandu HW.
Pada tanggal 13 Maret 1921 KH. Fachrudin menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya yang diantar oleh barisan Pandu HW dan Warga Muhammadiyah sampai Stasiun Tugu Yogyakarta. KH. Fachrudin sempat berpesan didepan anggota-anggota HW dengan menanamkan anti penjajah pada anak HW :
“Tongkat-tongkat yang kamu panggul itu pada suatu ketika nanti akan menjadi senapan dan bedil”
Pesan KH. Fachrudin itu ternyata benar, karena beberapa tahun kemudian banyak anggota HW yang memegang senjata pada Zaman Jepang dengan memasuki barisan PETA (Pembela Tanah Air) seperti : Suharto (Presiden), Sudirman (Panglima Besar TNI), Mulyadi Joyomartono, Kasman Singodimejo, Yunus Anis, dll.
Pesatnya kemajuan HW rupaya mendapat perhatian dari NIPV (perkumpulan kepanduan Hindia belanda sebagai cabang dari kepanduan di Negeri Belanda(NPV)). Pada waktu itu gerakan kepanduan yang mendapat pengakuan dari Internasional hanyalah yang bergabung dalam NIPV tersebut.

HW MENOLAK BERGABUNG DENGAN NIPV
M. Ranelf seorang pemimpin dari NIPV dan yang memegang perwakilan NPV telah datang di Yogyakarta menemui pimpinan HW, mengajak supaya HW masuk ke dalam organisasi NIPV. Usaha-usaha Ranelf selaku komisaris NIPV tiada hentinya untuk menarik HW menjadi anggota NIPV sehingga ketika Konggres Muhammadiyah tahun 1926 di Surabaya, ia mengikuti Konggres Muhammadiyah dari awal sampai dengan selesai.
Selanjutnya diadakan pertemuan lagi di Yogyakarta oleh wakil NIPV, mengajak HW masuk kedalam organisasi NIPV. HW mempunyai prinsip-prinsip yang sukar diterima oleh Padvinder. Adapun HW jika dikatakan itu bukan Padvinder, bagi HW tidak keberatan. HW adalah Hizbul Wathan, mau dikatakan itu padvinder atau bukan terserah yang mau mengatakannya.
KH. Fachrudin mengetahui bahwa NIPV merupakan kepanduan yang bersifat ke Belanda an dan merupakan alat dari penjajah Belanda, sehingga ajakan tersebut ditolak HW. Alasan HW menolak ajakan tersebut karena HW sudah mempunyai dasar sendiri yaitu Islam, dan HW sudah mempunyai induk sendiri yaitu Muhammadiyah. Sesuai dengan induknya HW bersemangat anti penjajah, HW tidak dapat diatur menurut aturan NIPV.

HW PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pada permulaan jaman Jepang HW masih nampak kegiatannya, bahkan ikut pawai yang diadakan oleh Jepang dalam rangka merayakan UlangTahun Tenno Heika, sedangkan yang memimpin pawai tersebut Bp. Haiban Hadjid. HW terpilih untuk ikut serta dalam pawai tersebut karena HW dalam baris-berbaris terkenal bagus dibandingkan dengan kepanduan lainnya. Oleh karena itu pandu-pandu dari organisasi lain memberi identitas HW sebagai PANDU MILITER.
Kepanduan pada permulaan perndudukan Jepang namapknya akan mendapat kesempatan hidup terus. Namun tidak lama kemudiansecara terang-terangan Jepang melarang berdirinya organisasi-organisasi kepanduan serta pergerakan lainnya.
Sehingga semua pandu-pandu di Indonesia tidak aktif dari kegiatannya.

PADA MASA KEMERDEKAAN
Sesudah proklamasi kemerdekaan timbullah keinginan untuk menghidupkan kembali organisasi kepanduan Indonesia. Sedang bentuk dan sifatnya harus sesuai dengan keadaan, yakni suatu organisasi kepanduan yang bersatu meliputi seluruh Indonesia dan tidak terpecah belah.
Pada akhir bulan September 1945 di Balai Mataram Yogyakarta berkumpullah beberapa orang pemimpin pandu. Dari HW hadir Bp. M. Mawardi dan Bp. Haiban Hadjid.
Pada tanggal 27 – 29 Desember 1945 diadakan konggres Kesatuan Kepanduan Indonesia yang hadir lebih kurang 300 orang. Termasuk utusan dari HW. Dalam konggres ini dengan suara bulat diputuskan membentuk PANDU RAKYAT INDONESIA.
Anggota pengurus Kwartir Besar Pandu Rakyat Indonesia antara lain : Dr. Mawardi (KBI), Hertog (KBI), Abdul Ghani (HW), Jumadi (HW).
Tahun 1948 terjadilah aksi polisionil ke 2, Belanda menduduki Yogyakarta, Ibu Kota RI.
Konggres pandu Rakyat kedua diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 20 sampai dengan 22 Januari 1950. Keputusan-keputusan yang dihasilakn dalam konggres Pandu Rakyat Indonesia yaitu antara lain menerima konsepsi baru yang memberi kesempatan kepada bekas pemimpin pandu untuk menghidupkan kembali organisasinya masing-masing.

AMANAT PANGSAR JENDERAL SUDIRMAN
Pada hari Ahad Legi 19 Desember 1948 Belanda menyerbu dan menduduki Ibu Kota RI Yogyakarta dan menangkap Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa pemimpin Indonesia lainnya, tetapi bukan berarti RI telah jatuh. Pangsar Jenderal Sudirman (Pandu HW) meskipun dalam keadaan sakit beliau pantang menyerah, keluar kota untuk memimpin perang gerilya.
Pada tanggal 29 Juni 1948 Belanda meninggalkan Yogyakarta dan masuklah tentara RI ke Yogyakarta, yang kemudian terkenal dengan Yogya Kembali. Pangsar Jenderal Sudirman masih dalam keadaan dan dirawat di RS Magelang.
M. Mawardi dan beberapa orang wakil dari Muhammadiyah menengok di RS Magelang. Pada saat itu Jenderal Sudirman mengamanatkan kepada Mawardi selaku Wakil Muhammadiyah agar Kepanduan Hizbul Wathan yang merupakan tempat pendidikan untuk CINTA TANAH AIR didirikan lagi. Di samping itu juga untuk melanjutkan tujuan semula pendirian HW yaitu : sebagai kader Muhammadiyah dalam penyebaran agama Islam. Dikatakan bahwa HW merupakan tempat yang baik untuk mendidik anak-anak Muhammadiyah agar kelak menjadi seorang pejuang yang cinta tanh air dan sekaligus taat pada agama. Oleh karena itu dianjurkan pada warga Muhammadiyah agar jangan ragu-ragu lagi untuk mendidik putra-putrinya melalui Kepanduan HW.

APEL PERESMIAN BERDIRINYA KEMBALI HW
Untuk melaksanakan amanat Pangsar Jendral Sudirman pada sore hari tanggal 29 Januari 1950 secara simbolis HW mengadakan apel yang dipimpin oleh Bp. Haiban Hadjid untuk meresmikan berdirinya kembali kepanduan Hizbul Wathan, dan pada malam harinya Pangsar TNI Jenderal Sudirman wafat. Oleh karenanya pada waktu itu ada semboyan :
“HW BANGKIT UNTUK MELANJUTKAN KEPEMIMPINAN JENDERAL SUDRIMAN”
Setelah HW resmi berdiri lagi banyaklah anggota Pandu Rakyat yang dulu juga pandu HW masuk kembali ke dalam Hizbul Wathan.

MAJELIS HW
Kepanduan Hizbul Wathan yang merupakan organisasi bagian Muhammadiyah dalam struktur organisasinya tidak dapat dipisahkan dari Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis HW disingkat dengan Majelis HW adalah suatu badan pembantu Pimpinan Muhammadiyah yang diserahi tugas melaksanakan Pimpinan, usaha Muhammadiyah dalam bidang Ke HW an. Majelis HW adalah sebagai Kwartir Besar HW dan mempunyai Pimpinan langsung ke bawah tingkat daerah, cabang. Anggota Majelis HW terdiri dari anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tentang HW. Mereka ditetapkan dan diberhentikan oleh PP Muhammadiyah.

MAJELIS HW TAHUN 1961
Ketua : MH. Mawardi
Wk/Kb Umum : R. Haiban Hadjid
KB Bag. Lab : HAG Dwidjosuparto
KB Penghela : R. Subiso Sastrowarsito
KB Pengenal : H. Suroso
KB Athfal : Donowardoyo
KB Bag. Latihan : Otong Muchsin
KB Perw. Jakarta : KH. Mansur
Anggota : R. Dawam Marzuki
Bendahara : Hirmas
Sekretaris I : H. Amien Luthfie
Sekretaris II : Achmad Sumitro, BSc
Sekretaris III : Rofiq JA
Pustaka :
Buku Kenang-Kenangan
Reuni Pandu HW Wreda
di Yogyakarta, 14 Januari 1996
(Disadur dari  http://www.gkhwklaten.org)

Jumat, 28 Oktober 2011

JENDERAL SUDIRMAN

(Kader HW Militan)
JENDERAL SUDIRMAN

Nama

Sudirman
Tempat, Tanggal dan Lahir
Bodas Karangjati, Prubalingga, 24 Januari 1916
Agama
Islam
Pendidikan Formal
Sekolah Taman Siswa HIK Muh Solo (tidak tamat)
Pendidikan Tentara
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor
Pengalaman Organisasi
Kepanduan Hizbul Wathan
Jabatan Militer
Panglima Besar TKR/TNI (Pangkat Jenderal Panglima Divisi V /Banyumas, dengan pangkat Kolonel Komandan Batalyon di Kroya)
Tanda Kehormatan
Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Meninggal
Magelang, 29 Januari 1950
Makam
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta

Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/ Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.
Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Kepanduan Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/ Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/ Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relTambah Gambaratif muda, 34 tahun.
Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan sekaligus tokoh besar HW.
Pustaka : Ensiklopedi Tokoh Indonesia
selengkapnya dalam BUKU PEDOMAN HW
Dokumentasi bangsa Indonesia

(Disadur dalam http://www.gkhwklaten.org)